Indonesia
adalah negara yang termasuk dalam negara yang rawan dengan gempa. Bencana alam
yang terjadi dibeberapa negara di dunia seolah mengingatkan kembali tentang
pentingnya mendirikan bangunan tahan gempa.
Frekuensi gempa
di Indonesia
cukup tinggi. Untuk mengurangi timbulnya kerusakan bangunan akibat gempa, sudah
semestinya bangunan yang ada di Indonesia
termasuk rumah tinggal dibangun dengan memperhitungkan kemungkinan adanya
gempa.
Sebenarnya yang
dimaksud dengan bangunan tahan gempa bukan berarti bangunan itu tidak akan
rubuh bila ada gempa. Bangunan dapat disebut tahan gempa bila saat terjadi
gempa ringan, bangunan tersebut tidak mengalami kerusakan secara struktural
maupun kerusakan pada elemen-elemen bangunannya. Pada gempa besar, bangunan
boleh saja rusak, asalkan tidak membahayakan penghuni di dalam bangunan.
Setidaknya, penghuni punya waktu untuk dapat menyelamatkan diri sebelum
bangunan runtuh.
Peneliti
geoteknologi dan paleoseismologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko
Yulianto mengatakan pentingnya bangunan tahan gempa di Indonesia.
Bangunan terutama rumah yang tepat dapat mengurangi resiko keselamatan.
Eko menyebutkan
untuk merancang rumah tahan gempa bisa dengan merancang bangunan tidak permanen
atau benar-benar kokoh tapi tentunya biaya yang dikeluarkan untuk membangun
bangunan lebih mahal.
Namun, bagi
kebanyakan orang yang tak cukup biaya mendesain banguna yang kuat tahan gempa,
Eko juga menyebutkan ada beberapa cara untuk meminimalkan resiko kematian.
Masyarakat dapat membangun dengan konstruksi yang simetris atau berbentuk
kotak. “Kolom betonnya dibuat simetris karena akan lebih kuat strukturnya,”
katanya.
Tak kalah
penting, unsur struktur bangunan seperti kolom rumah dan slope diperkuat sementara
unsure non struktur dibuat seringan mungkin. “Seringkali orang memandang tembok
sebagai unsur struktur, padahal bukan. Tembok fungsinya sebagai penutup. Dalam
beberapa kasus, tembok yang dibuat berat malah menjadi pembunuh saat gempa
terjadi karena menimpa orang yang didalam rumahnya,” paparnya.
Di Jepang, kata
Eko, kebanyakan bangunan dibuat semi permanen dimana partisinya dibuat dengan
bahan ringan seperti bubur kertas, kayu, styrofoam. “Mungkin kalau di Indonesia bisa
dipakai bambu atau kawat yang diperkuat baru nanti dirancang seolah-olah
seperti tembok. Ketika guncangan terjadi, rancangan ini tidak terlalu
mengancam,” ujarnya.
Lalu untuk
membangun slope diagonal, yang menghubungkan antartiang rumah, sebaiknya dibuat
lebih lemah daripada tiangnya. Menurut Eko, ketika terjadi guncangan karena
gempa, slope yang lebih berat akan mengalami patah di tengah dan menyebabkan
kerusakan bangunan.
Selain itu
beberapa tip berikut juga dapat meminimalkan terjadi korban yang disebabkan
kerusakan bangunan.
- Pondasi harus dibuat diatas tanah keras yang stabil. Pengecekan tanah yang saksama diperlukan untuk proses ini. Jangan abaikan pembuatan sloof, yang berfungsi mengikat pondasi.
- Gunakan material yang ringan. Semakin ringan, kerusakan yang ditimbulkan akan semakin kecil. Untuk dinding, gunakan panel gypsum atau beton ringan, bahkan bambu. Sebagai rangkanya dapat digunakan kayu atau baja ringan. Sementara itu, untuk penutup atap sebaiknya gunakan genteng metal dengan rangka atap baja ringan atau kayu kering.
- Buat denah rumah sesederhana mungkin. Denah yang simetris juga memperkecil resiko kerusakan. Jika ada yang bersambung, misalnya denah membentuk T atau L, buat delatasi atau pemisah struktur di antara pertemuan massa bangunan.
- Tambahkan kolom praktis pada setiap 12 m² pada dinding, sebagai penguat. Ikat kolom ini ke sloof pada bagian bawah dan ke ringbalok pada bagian atas.
- Kolom juga harus dipasangi tulangan sengkang dengan jarak dan jumlah yang sesuai dengan perhitungan untuk menahan beban gempa. Untuk rumah 2 lantai, jarak antarsengkang cukup 20 cm. Untuk bagian ujung pertemuan antara kolom dan balok, jarak sengkang harus lebih rapat lagi.
- Intinya, jangan berhemat di struktur saat bangun rumah. Sementara untuk bagian lain, misalnya finishing, menghabiskan dana lebih banyak dibandingkan struktur. Padahal dari alokasi biaya, untuk struktur hanya 20-25% dari total biaya pembangunan.
sumber : wartakota, kompasklasika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar